Sabtu, 18 Mei 2013

Kecanduan Seks itu Nyata


 Kecanduan Seks itu Nyata



KOMPAS.com - Penelitian para ahli menunjukkan bahwa seseorang memang bisa benar-benar mengalami kecanduan seks.
Selama ini, masalah kecanduan seks masih menjadi perdebatan di kalangan medis. Gangguan hiperseksual masih dalam kajian untuk disertakan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), suatu panduan dalam mendeteksi gangguan kejiwaan yang digunakan profesional di Amerika Serikat.

Para peneliti dari University of California Los Angeles Amerika Serikat dalam kajian terbarunya menyatakan bahwa tenaga kesehatan profesional dapat menggunakan gejala-gejala yang muncul dari kelainan hiperseksual untuk membedakan pasien ke dalam dua kelompok, yaitu mereka yang benar-benar mengalami gangguan dan mereka yang tidak terkena kelainan.
Peneliti menekankan, mereka tidak bermaksud memasukkan perilaku yang lumrah dilakukan banyak orang seperti hubungan seks yang sering atau menonton materi porno sebagai gangguan seksual. Tetapi, mereka ingin membantu pasien merasakan bagaimana cara mereka mengendalikan kebutuhan seks dan memuaskannya dengan mengabaikan konsekuensi atau efeksampingnya.
"Mereka mungkin mempertimbangkan konsekuensi itu sesaat, tetapi merasa kebutuhan akan seks lebih penting, dan memilih seks bahkan dalam situasi di mana pilihan tersebut akan menyebabkan masalah serius atau membahayakan seperi misalnya kehilangan pekerjaan, hubungan dengan pasangan atau kesulitan keuangan," ungkap Rory Reid, asisten profesor dan peneliti psikologi pada University of California, Los Angeles.

Para peneliti mendefinisikan gangguan hiperseksual sebagai berulangnya fantasi, hasrat dan perilaku seksual yang kuat yang timbul setidaknya dalam enam bulan terakhir. Fantasi, hasrat dan perilaku seksual ini harus memicu adanya tekanan/stres dan mengganggu sejumlah aspek kehidupan seperti pekerjaan dan hubungan personal pasien yang didiagnosa mengalami kelainan.

Riset terbaru ini dilakukan dengan metode wawancara terhadap 207 pasien yang dirujuk ke klinik kesehatan jiwa. Peneliti mengatakan, 152 pasien dirujuk karena masalah seksual, 20 pasien karena tindak kekerasan dan 35 pasien dirujuk karena kondisi kejiwaan lainnya.
Para peneliti menggunakan definisi kelainan hiperseks untuk mendiagnosa 134 pasien yang dirujuk karena problem seksual dengan adanya kelainan, dan mendiagnosa 18 pasien dengan kondisi kejiwaan lainnya atau pun tanpa kelainan. Menurut peneliti, para tenaga profesional telah menyetujui pasien mana yang didiagnosa mengalami kelainan hiperseks dari 92 persen kasus.

Dalam wawancara, dokter meminta pasien melaporkan perilaku yang paling mengganggu mereka seperti masturbasi, menonton materi porno, phonesex, cybersex. Kebanyakan pasien yang didiagnosa hipeseks mengatakan bahwa masturbasi dan menonton pornografi merupakan problem, dan beberapa di antaranya kehilangan pekerjaan karena tidak dapat menahan diri dari perilaku tersebut di tempat kerja.
Pasien lebih banyak melaporkan dirinya terlibat dalam perilaku tersebut setelah mencoba mengontrolnya dengan mengabaikan efek buruk pada fisik dan emosional baik bagi dirinya maupun orang lain.

"Smartphone" Picu Pergaulan Bebas Remaja?



"Smartphone" Picu Pergaulan Bebas Remaja?



KOMPAS.com - Penggunaan smartphone atau ponsel pintar di satu sisi memberi begitu banyak manfaat bagi masyarakat. Namun, di sisi lain, pemakaian yang tidak tepat juga dapat menimbulkan dampak negatif.

Salah satu yang perlu diwaspadai, khususnya para orang tua, adalah penggunaan ponsel pintar di kalangan anak-anak dan remaja. Hasil sebuah penelitian awal di luar negeri mengindikasikan, ponsel pintar dapat memicu perilaku seks berisiko. Kalangan remaja kerap menggunakan alat ini untuk mencari pasangan dan di antara mereka cenderung mudah terlibat dalam pergaulan bebas.

Peneliti dari University of Southern California di Los Angeles, AS, belum lama ini melakukan riset untuk mengetahui sejauh mana penggunaan ponsel pintar di kalangan remaja memengaruhi perilaku seksual. "Kami ingin mengetahui apakah risikonya memang nyata atau hanya sekadar sensasi," kata Eric Rice, PhD, salah seorang peneliti seperti dikutip WebMD.

Rice bersama timnya mengkaji data survei Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada 2011 yang melibatkan 1.800 pelajar di Los Angeles berusia 12-18. Mereka menanyakan beberapa hal kepada para pelajar, termasuk penggunaan internet dalam mencari pasangan, berhubungan seks dengan pasangan, penggunaan kondom, serta pemanfaatan teknologi khususnya ponsel pintar.

Dalam riset terungkap, sekitar sepertiga pelajar menggunakan ponsel pintar yang terhubung langsung ke dunia maya, dan sekitar separuh anak-anak mengaku bahwa mereka aktif secara seksual. Di antara remaja yang tidak menggunakan ponsel pintar, peneliti menemukan hanya sepertiga remaja yang mengaku melakukan hubungan seks.

Riset juga mengungkapkan, 5 persen pelajar SMA menggunakan internet untuk mencari pasangan, dan satu di antara 4 pelajar merambah dunia untuk mendapatkan seks. Mereka yang melakukan pendekatan atau mencari pasangan seks secara online secara signifikan cenderung melakukan hubungan seks dengan pasangan yang dikenalnya di internet.

"Ini adalah riset yang menarik dan penting, statistiknya memprihatinkan. Kita perlu mendidik para remaja agar waspada dan mencurigai setiap orang asing yang mereka temui di dunia maya," kata Sophia Yen, MD, spesialis kesehatan remaja dari Stanford University's Lucile Packard Children's Hospital, yang tidak terlibat dalam riset ini.

Rice memperkirakan, salah satu alasan tingginya rata-rata aktivitas seksual di kalangan pengguna ponsel pintar adalah kemudahan mendapat akses internet secara pribadi. "Mungkin ada hubungannya dengan akses internet privat dari ponsel mereka. Sedangkan bila dari komputer di rumah, orang tua akan lebih mudah untuk melakukan kontrol," ujarnya.

Rice juga menyarankan para orang tua untuk lebih banyak melakukan komunikasi dan diskusi dengan anak-anak. Upaya penyuluhan dan edukasi yang dilakukan oleh orang tua, menurut Rice, justru akan lebih efektif ketimbang membatasi akses internet secara ketat pada anak dan remaja.

Ia juga menilai, ponsel pintar bukanlah penyebab utama munculnya perilaku berisiko di kalangan anak dan remaja. "Teknologi tidak menciptakan masalah, tetapi memfasilitasi munculnya perilaku," ujarnya.

Peneliti menyatakan, hasil riset yang dipresentasikan dalam pertemuan tahunan American Public Health Association ini masih bersifat pendahuluan. Oleh sebab itu, perlu penelitian lebih lanjut dan mendalam untuk memastikan dampak ponsel pintar terhadap perilaku seks remaja.